Penyebab Kerusuhan Sambas
KOMPAS
Kamis, 22 Apr 1999
Tragedi Sambas Menurut Antropolog dan Sosiolog
BENTURAN BUDAYA DAN RASA KEADILAN
TRAGEDI Sambas sudah berlangsung dua bulan, menghancurkan sekitar 3.000 rumah, dan menewaskan lebih 200 orang. Mengapa amuk massa di Sambas bisa terjadi? Kata antropolog senior dari Universitas Indonesia, Prof Dr Parsudi Suparlan (61), “Itu ungkapan frustrasi sosial yang mendalam dan berkepanjangan yang dirasakan orang-orang Melayu atas perbuatan sewenang-wenang orang Madura sebelumnya.”
Parsudi menarik kesimpulan itu sesudah memimpin tim pakar bentukan Markas Besar Kepolisian RI membuat penelitian di tempat kerusuhan, 9-20 April 1999. Mereka meneliti di tiga wilayah kajian, yaitu Pontianak, Sambas/Singkawang, dan desa-desa kantung konflik. Tim itu beranggota pakar antropologi, sosiologi, dan psikologi: Prof Dr S Budhisantoso, Prof Dr Sardjono Jatiman SH, Prof Dr Sarlito W Sarwono, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie. Bersama mereka ada dua polisi dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Letkol (Pol) Drs Bambang Wahyono MSi dan Letkol (Pol) Drs Agus Wantoro MSi.
Tim ini mewawancarai masyarakat
Melayu, Dayak, dan Madura. Mereka mendatangi warga di desa/kecamatan
seperti di Pemangkat dan Jawai (Kabupaten Sambas), bertatap muka dengan
masyarakat Melayu di Keraton Sambas, dan masyarakat Melayu/Dayak di aula
mes pemda setempat di Singkawang. Wawancara dengan tokoh Madura
Singkawang dilakukan di hotel di Singkawang, demi keamanan bersama.
***MENURUT Budhisantoso (62), pakar antropologi dari UI, penyebab kerusuhan adalah faktor kebudayaan dan environmental scarcity (keterbatasan sumber daya dan lingkungan). Orang Melayu yang-seperti orang Jawa dan Sunda, menghindari konflik dan lebih suka hidup damai-menghadapi tekanan lingkungan akibat pembangunan nasional yang tidak menjamin rasa adil, tak ada demokrasi berpolitik dan berbudaya. Hutan-hutan mereka diambil untuk keperluan pengusaha HPH. Mereka menghadapi masyarakat Madura yang sebagian besar mencari keuntungan materi dengan cara apa pun.
“Orang Melayu-seperti orang
Dayak-mencari nafkah sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketika arus pendatang makin deras, orang Melayu melihat, lapangan kerja
yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata membuahkan keuntungan,
misalnya sektor angkutan umum. Orang Melayu bukannya kalah bersaing,
tetapi dalam budayanya sudah ditanamkan untuk menghindari konflik,”
katanya.
Benturan budaya yang semakin kuat membuat orang Melayu akhirnya meledak. Persoalannya, masyarakat Melayu belum menyiapkan pranata untuk memenangkan persaingan menguasai sumber daya. Yang ada sekarang, mereka tetap merasa diri terinjak-injak dan teraniaya. Persoalannya menurut sosiolog UI Prof Dr Sardjono Jatiman (58), masyarakat pendatang memiliki kultur kekerasan. Katanya, “Untuk menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan senjata. Mereka memiliki budaya miskin yang menghalalkan segala cara, sehingga terjadilah benturan-benturan budaya.”
Sosiolog Universitas Tanjungpura
Pontianak, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie mengungkapkan, solusi jangka
pendek adalah mengeluarkan untuk sementara waktu warga Madura dari
kantung-kantung konflik di Kabupaten Sambas. Sesudah itu, tambah
Sardjono, mereka meminta maaf kepada masyarakat Melayu (dan juga Dayak).
***
PERTIKAIAN antaretnis yang
terjadi berulang kali di Kalbar, menurut Sardjono, karena masing-masing
kelompok tidak belajar dari pengalaman untuk hidup bersama secara
menguntungkan. “Ibaratnya, pelajar sekolah tidak naik kelas
berkali-kali. Dan kalau sampai sebelas kali, itu sudah keterlaluan,”
katanya.
Parsudi Suparlan melihat
masyarakat pendatang tidak belajar dari diri sendiri dan dari orang
lain. Tegasnya, “Kok di daerah lain orang Madura bisa akur, tetapi di
Kalbar selalu bertikai. Ini disebabkan masyarakat Melayu tidak tegas
menuntut.” Menurut Parsudi, masyarakat Madura menyadari kekeliruan
mereka. Dalam pertemuan dengan tim pakar Mabes Polri, mereka bersedia
mengoreksi warganya yang melanggar hukum. Perbuatan oleh pribadi dan
individu, tidak boleh dianggap sebagai perbuatan kelompok. Kalau satu
orang mencuri, satu kampung tidak kemudian “mendukung” individu yang
berbuat salah, seperti yang terjadi selama ini.
Singkatnya, kata Sardjono, aturan
main harus adil. Pelanggaran hukum harus diselesaikan melalui lembaga
adat dan proses penegakan hukum yang adil. Tetapi ini semua tidak
terjadi di Sambas. Kasus penyerangan perkampungan Melayu di Desa Parit
setia (Kecamatan Jawai) oleh masyarakat Madura pada Hari Idul Fitri 19
Januari, kata Budhisantoso, seharusnya dapat diselesaikan melalui proses
hukum yang adil. Masyarakat Melayu melihat dan mengalami ketidakadilan
ini bukan cuma satu-dua kali, tetapi sudah bertahun-tahun. Mereka merasa
seperti dijajah. Kemarahan terungkap dalam amuk massa, karena
menganggap hukum tak lagi adil. Dalam berbagai kasus, begitu ada warga
pendatang ditangkap polisi, satu kampung mendatangi kantor polisi dan
mengintimidasi petugas serta pihak yang melaporkan mereka. Warga melihat
petugas tidak tegas karena dengan mudahnya melepaskan penjahat, preman
yang meresahkan, hanya karena uang. Rasa keadilan yang tidak terpenuhi
serta benturan-benturan budaya yang terjadi lebih 50 tahun lamanya di
Sambas, melahirkan “pengadilan rakyat” yang membuahkan sebuah tragedi
umat manusia. (adhi ksp)